Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang haq untuk dimenangkan di atas seluruh agama. Salawat dan salam semoga terus tercurah kepada Nabi yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, yang menjadi saksi, pemberi kabar gembira dan peringatan, sebagai da’i yang mengajak kepada Allah dan menjadi lentera yang menerangi perjalanan hidup manusia. Amma ba’du.
Menjadi da’i yang mengajak umat untuk menghamba kepada Allah, sebuah tugas yang sangat utama dan mulia. Tugas yang membuktikan kesejatian ittiba’ (komitmen untuk setia kepada Sunnah) pada diri seorang muslim terhadap Nabi yang dicintainya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan maha suci Allah, aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108). Ayat yang mulia ini mengisyaratkan bahwasanya orang yang paling sempurna dalam ittiba’ adalah yang paling sempurna dalam berdakwah (lihat ad-Durar al-Ghaliyah fi Adab ad-Da’wah wa ad-Da’iyah oleh Syaikh Abdul Hamid bin Badis rahimahullah, hal. 18
Formula Dakwah
Dalam ayat di atas, Allah ta’ala menerangkan kepada kita bahwasanya jalan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibangun di atas tiga perkara:
- Mengajak kepada Allah di atas bashirah/ilmu
- Menyucikan Allah ta’ala -dari segenap celaan dan kekurangan-
- Berlepas diri dari orang-orang musyrik (lihat ad-Durar al-Ghaliyah, hal. 8 )
Mengajak Kepada Allah
Hendaknya seorang da’i mengingat, bahwasanya dakwah yang dilakukannya adalah untuk mengajak manusia kepada Allah, yaitu: mengajak manusia kepada agama-Nya, agar mereka mentauhidkan-Nya, dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam surga-Nya. Sehingga seorang da’i harus ikhlas dalam berdakwah (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi, hal. 50). Berdakwah kepada hukum-hukum Allah juga termasuk dalam dakwah kepada Allah, karena hal itu merupakan ajakan terhadap apa yang diperintahkan dan untuk menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya (lihat adh-Dhau’ al-Munir fi at-Tafsir, hal. 550). Artinya, semestinya dakwah yang diserukannya bukanlah dalam rangka meraih target kekuasaan, ambisi tertentu, harta, ataupun urusan-urusan dunia lainnya. Akan tetapi dakwahnya bertujuan mengajak manusia mentauhidkan Allah dan mengikuti syari’at-Nya (Syarh Kitab at-Tauhid, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 42)
Dari sini kita mengetahui bahwa yang dimaksud mengajak kepada Allah ialah:
- Mengajak kepada agama-Nya, yaitu Islam
- Mengajak kepada tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah
- Mengajak untuk menempuh jalan menuju surga-Nya, yaitu jalan yang lurus
- Mengajak untuk menerapkan hukum-hukum Allah, yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya
Mengajak Kepada Agama-Nya
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dialah yang telah mengutus rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama…” (QS. al-Fath: 28). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama -yang benar- di sisi Allah adalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima darinya dan di akherat nanti dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman bersabda, “Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, hendaknya kamu ajak mereka untuk bersyahadat tiada sesembahan -yang benar- selain Allah dan bahwasanya aku adalah utusan Allah…” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan pula kepada kita bahwasanya seseorang tidak dihukumi sebagai muslim kecuali setelah dia mengucapkan dua kalimat syahadat, demikian keterangan Imam Nawawi rahimahullah (lihat Syarh Muslim [2/48]). Hal ini tentu saja berbeda jauh dengan apa yang sering digembar-gemborkan oleh kaum liberal dan pluralis bahwa seorang bisa menjadi muslim tanpa mengikuti agama Islam dan tanpa dua kalimat syahadat [?!] Kalau pun mereka menamai gerakan mereka sebagai Jaringan Islam Liberal -dengan label Islam- maka itu sebenarnya menunjukkan betapa pengecutnya mereka sehingga tidak berani untuk menyingkap hakekat dakwah mereka yang berisi kekafiran! Mereka malu kepada manusia tetapi tidak malu kepada Allah, padahal Dia senantiasa mengawasi gerak-gerik mereka…
Mengajak Kepada Tauhid
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 59). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum ‘Aad, Kami utus saudara mereka yaitu Hud. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 65). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Tsamud, Kami utus saudara mereka yaitu Shalih. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 73). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada kaum Madyan, Kami utus saudara mereka yaitu Syu’aib. Dia berkata; Wahai kaumku, sembahlah Allah tiada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (QS. al-A’raaf: 85). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa dakwah seluruh rasul adalah dakwah tauhid. Demikian juga semestinya yang dilakukan oleh para ulama dan da’i yang melanjutkan perjuangan mereka…
Oleh sebab itu mereka pun senantiasa memperingatkan umat dari bahaya syirik. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu, apabila kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu, dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar: 65). Nabi Ibrahim ‘alaihis salam pun berdoa kepada Allah supaya dijauhkan dari pemujaan kepada berhala, sebagaimana dikisahkan dalam ayat (yang artinya), “Jauhkanlah diriku dan anak keturunanku dari pemujaan kepada berhala.” (QS. Ibrahim: 35).
Mengungkap Kesalahpahaman Tentang Tauhid
Banyak yang mengira bahwa tauhid adalah sekedar keyakinan bahwa Allah itu satu, tidak berbilang. Tauhid itu maknanya Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta. Itulah yang biasa dikenal di dalam istilah para ulama sebagai tauhid rububiyah, yaitu mengakui keesaan Allah dalam perkara mencipta, mengatur dan semacamnya. Padahal, tauhid yang menjadi inti dakwah para nabi dan rasul bukan itu. Tauhid yang menjadi tujuan utama dakwah ialah tauhid uluhiyah; yaitu menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah bisa menetapkan kebenaran hal ini dengan bukti dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakekat tauhid. Mereka beranggapan apabila mereka telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini maka itu artinya mereka telah berhasil menggapai puncak ajaran tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala dan menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya dan juga meyakini bahwasanya Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat la ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, sehingga dia mengakui bahwa Allah semata yang berhak untuk diibadahi dan dia menjalankan ibadah kepada Allah serta tidak mempersekutukan-Nya.” (Dikutip dari Fath al-Majid, hal. 15-16)
Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat la ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan la ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)
Menjelaskan Hakekat Ibadah
Dakwah tauhid tidak tegak tanpa pemahaman yang benar mengenai hakekat ibadah. Oleh sebab itu menjelaskan kepada umat mengenai keluasan cakupan ibadah dan pilar-pilarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dakwah tauhid itu sendiri. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berkata: Berdoalah kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ibadah merupakan sebuah istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan, yang batin maupun lahir. Ini artinya sholat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang mungkar, berjihad memerangi orang kafir dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, maupun budak dari kalangan manusia atau binatang piaraan, doa, dzikir, membaca al-Qur’ab, dan lain sebagainya itu semua adalah ibadah. Demikian juga kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, rasa takut kepada Allah, inabah kepada-Nya, mengikhlaskan agama untuk-Nya, bersabar menghadapi ketetapan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridha dengan takdir-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada azab-Nya, dan semisal itu pun termasuk ibadah kepada Allah.” (al-‘Ubudiyah, hal. 6)
Ibadah pada asalnya mengandung makna perendahan diri, akan tetapi ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah suatu bentuk perendahan diri yang paling tinggi kepada Allah dengan disertai puncak rasa cinta kepada-Nya. Seorang yang menundukkan dirinya kepada orang lain namun menyimpan rasa benci kepadanya tidaklah dianggap beribadah kepadanya. Demikian juga orang yang mencintai seseorang namun tidak menundukkan diri kepadanya pun tidak dikatakan beribadah kepadanya. Oleh sebab itu kedua pilar ibadah tersebut -yaitu perendahan diri dan puncak kecintaan- itu harus selalu ada dalam menjalani ibadah kepada Allah. Bahkan Allah harus lebih dicintainya daripada segala sesuatu dan menjadi sosok yang paling agung daripada segala-galanya. Bahkan, tidaklah berhak untuk mendapatkan rasa cinta dan ketundukan yang sempurna kecuali Allah semata. Segala sesuatu yang dicintai bukan karena Allah maka kecintaannya adalah kecintaan yang rusak/tidak sah. Begitu pula tidaklah sesuatu selain Allah diagung-agungkan tanpa perintah dari-Nya melainkan pengagungan itu adalah sebuah kebatilan (lihat al-‘Ubudiyah, hal. 12)
Ibadah ditopang dengan tiga buah pilar amalan hati, yaitu:
- Rasa cinta
- Rasa takut
- Rasa harap (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53)
Ketiga hal di atas harus terkumpul dalam diri seorang muslim, tidak boleh dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lainnya. Barangsiapa yang bersandar hanya kepada salah satunya dan menyingkirkan yang lainnya maka dia tidak beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Beribadah kepada Allah hanya dengan cinta adalah jalan kaum Sufi. Beribadah kepada Allah hanya dengan harapan adalah jalan kaum Murji’ah. Beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut adalah jalan kaum Khawarij (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35)
Ibadah terdiri dari tiga jenis amalan:
- Amalan hati
- Amalan lisan
- Amalan anggota badan (lihat Fath al-Majid, hal. 17)
Menjelaskan Hakekat Syirik dan Bahayanya
Mendakwahkan islam dan tauhid tidak akan terwujud kecuali dengan menjelaskan hakekat syirik dengan sejelas-jelasnya, sehingga dengan itu seorang muslim akan selamat dari bahayanya. Oleh sebab itu kita dapati banyak dalil dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menjelaskannya. Di antaranya adalah syirik dalam hal doa. Yaitu tatkala seorang hamba menujukan doanya kepada Allah dan juga kepada selain-Nya. Dia gantungkan harapan dan rasa takutnya kepada selain Allah di samping harapan dan takut kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman mengenai ulah orang-orang musyrik (yang artinya), “Kemudian apabila mereka naik di atas perahu (kemudian diterjang badai lautan) maka mereka pun berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya, namun ketika Allah selamatkan mereka ke daratan tiba-tiba mereka pun kembali melakukan kesyirikan.” (QS. al-Ankabut: 65)
Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan bagi Allah. Syirik ini terbagi menjadi dua:
- Syirik akbar; yaitu segala sesuatu yang disebut sebagai kesyirikan oleh pembuat syari’at dan padanya terkandung tindakan keluar dari agama
- Syirik asghar; yaitu segala perbuatan atau ucapan yang disebut sebagai syirik atau kekafiran namun berdasarkan dalil-dalil yang lain diketahui bahwa ternyata hal itu tidak mengeluarkan dari agama (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 20)
Bahaya syirik banyak sekali, diantaranya adalah:
- Pelakunya tidak akan diampuni apabila mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat an-Nisaa’: 48)
- Pelakunya keluar dari Islam, menjadi halal darah dan hartanya (lihat at-Taubah: 5)
- Amalan apa saja yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah, ia hanya akan menjadi sia-sia bagaikan debu yang beterbangan (lihat al-Furqan: 23)
- Pelakunya haram masuk surga (lihat al-Ma’idah: 72) (lihat at-Tauhid al-Muyassar, hal. 26)
Mengajak Kepada Jalan Yang Lurus
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.” (QS. al-Fatihah: 7). Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa hakekat jalan yang lurus itu akan diperoleh dengan cara mengenali kebenaran dan mengamalkannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka orang yang diberi nikmat atas mereka yaitu orang yang berilmu sekaligus beramal. Adapun orang-orang yang dimurkai yaitu orang-orang yang berilmu namun tidak beramal. Sedangkan orang-orang yang tersesat ialah orang-orang yang beramal tanpa landasan ilmu.” (Tsamrat al-‘Ilmi al-‘Amalu, hal. 14). Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa penyebab orang terjerumus dalam kesesatan ialah rusaknya ilmu dan keyakinan. Sedangkan penyebab orang terjerumus dalam kemurkaan ialah rusaknya niat dan amalan (lihat al-Fawa’id, hal. 21)
Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam (yang artinya), “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bid’ah-bid’ah…” (at-Tafsir al-Qayyim, hal. 116-117)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61). Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘mentaati syaitan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai syaitan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)
Mengajak Kepada Hukum Allah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang yang beriman, lelaki ataupun perempuan, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu urusan kemudian ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh di telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sesungguhnya mereka tidaklah beriman sampai mereka mau menjadian kamu (Muhammad) sebagai hakim atas segala yang diperselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hati mereka atas apa yang kamu putuskan, dan mereka pasrah dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus akibatnya.” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah, bagi orang-orang yang yakin.” (QS. al-Ma’idah: 50). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan putuskanlah hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu mereka.” (al-Ma’idah: 49)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian merusak bumi setelah perbaikannya.” (QS. al-A’raaf: 56). Abu Bakr bin ‘Iyasy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada segenap penduduk bumi sementara ketika itu mereka berada dalam kerusakan, maka Allah memperbaiki mereka dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang mengajak untuk menyelisihi/menentang ajaran yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu artinya dia termasuk golongan orang-orang yang melakukan perusakan di atas muka bumi.” (Fath al-Majid, hal. 383). Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “…Berhukum kepada selain Allah dan rasul-Nya termasuk sebab paling besar yang menimbulkan kerusakan di atas muka bumi sehingga memunculkan berbagai kemaksiatan, maka tiada kebaikan baginya kecuali dengan berhukum dengan Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah jalannya orang-orang yang beriman.” (Fath al-Majid, hal. 383)
Berdakwah Dengan Ilmu
Dakwah bukan perkara sembarangan. Ia membutuhkan perbekalan dan pemahaman. Seorang yang berdakwah berarti mengajak orang untuk beragama dengan pemahaman yang disebarkannya. Apabila pemahamannya keliru, maka menimbulkan pemahaman orang yang didakwahinya pun menjadi keliru. Sehingga yang seharusnya dia bisa bergembira dengan limpahan pahala berlipatganda karena dakwahnya, namun karena kebodohan justru sebaliknya yang dia peroleh, dosa bertumpuk-tumpuk yang dia dapatkan, wal ‘iyadzu billah.
Salah satu sebab yang banyak mengacaukan dakwah ini adalah ketidakadaan ilmu. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “.. karena sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah…” (al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82]). Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)
Dari Mu’awiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan dari Allah, niscaya akan dipahamkan dalam agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad bin Abdullah al-Imam hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya di antara buah yang bisa dipetik dari bertafaqquh/mendalami agama Allah adalah berjalan di atas jalan keselamatan dari fitnah/kekacauan…”. Itulah metode yang ditempuh oleh para sahabat sehingga mereka bisa selamat dari api fitnah. Seperti contohnya ketika mereka berselisih mengenai siapakah yang menggantikan Nabi, maka mereka pun merujuk kepada dalil dan pasrah kepadanya sehingga perselisihan pun usai. Sehingga diangkatlah Abu Bakar sebagai khalifah karena beliau adalah dari Quraisy, sebagaimana yang dipesankan oleh Nabi agar pemimpin umat ini dari kalangan mereka. Kemudian Syaikh Muhammad al-Imam berkata, “Lihatlah bagaimana perselisihan itu bisa dibendung dengan sebab tafaqquh dalam agama serta pasrah kepada dalil, dan lihatlah betapa banyak perselisihan yang timbul di kalangan para sahabat akhirnya lenyap dan berakhir apabila telah datang dalil dan keterangan syari’at. Maka tafaqquh dalam agama merupakan asas semua kebaikan, akan tetapi itu berlaku apabila ia diasuh oleh seorang guru yang benar akidahnya dan selamat manhajnya serta baik niatnya…” (at-Tanbih al-Hasan fi Mauqif al-Muslim min al-Fitan)
Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta-merta mencabutnya dari hamba-hamba-Nya. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama, sampai apabila sudah tidak disisakan lagi seorang yang berilmu, maka orang-orang pun mengangkat para pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari).
Menyucikan Allah Dari Segala Celaan
Celaan atau penodaan terhadap keagungan Allah dan agama-Nya timbul karena dakwah yang disampaikan tidak berlandaskan bashirah/ilmu. Oleh sebab itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan makna ayat ‘Maha suci Allah’, maksudnya di sini adalah, “Maha suci Allah dari dakwah yang aku lakukan yang tidak berlandaskan bashirah!” (al-Qaul al-Mufid [1/83]). Akibat dari berbicara tentang Allah dan agama-Nya tanpa ilmu, maka terjadilah berbagai bentuk penodaan dan pelecehan terhadap keagungan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 406). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perkara-perkara keji yang tampak ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melampaui batas tanpa hak, kamu mempersekutukan Allah yang sama sekali tidak ada dalil yang diturunkan untuk membenarkannya, dan kamu berbicara mengatasnamakan Allah apa-apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-A’raaf: 33)
Berlepas Diri Dari Penganut Kesyirikan
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah, tatkala Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya; Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah kecuali Yang Menciptakanku.” (QS. az-Zukhruf: 26). Seorang yang hendak merealisasikan tauhid di dalam dirinya maka dia harus berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 32). Sehingga tidak akan terkumpul pada diri seseorang antara keimanan dengan rasa cinta kepada musuh-musuh Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (QS. al-Mumtahanah: 4).